Syarat, Rukun dan Hal-Hal Yang Membatalkan Shalat, Terjemah Sulam Munajat
San3kalongbm.com - Syarat, Rukun dan Hal-Hal Yang Membatalkan Shalat, Terjemah Sulam Munajat - Setelah mengetahui hal-hal yang berhubungan dengan Allah dan Rasulullah, setiap muslim yang baligh dan akil wajib untuk mempelajari syarat shalat, rukun shalat dan hal-hal yang membatalkan shalat. Syarat adalah sesuatu yang tidak termasuk hakekat shalat. Rukun atau fardlu adalah sesuatu yang termasuk dalam hakekat sesuatu.
Syarat Shalat ada dua belas:
Pakaian, badan dan tempat harus suci dari najis yang tidak dimaafkan. Termasuk pakaian adalah segala sesuatu yang dibawa oleh orang yang shalat dan hal yang menempel pada benda tadi. Termasuk badan adalah bagian dalam mulut, hidung, mata dan telinga. Najis adalah sesuatu yang menjijikkan dan menghalangi sahnya shalat jika tidak ada keringanan. Termasuk najis adalah sebagai berikut:
Arak, meskipun dibuat dari anggur kering, kurma kering atau terbuat dari semacam beras yang dimasak atau roti atau lainnya, lalu dibiarkan selama tiga hari atau lebih atau kurang dengan cara khusus, lalu baunya berubah. Jika memabukkan, maka najis, sebagaimana dikutip Husain Al Mahalli dari Ar Ramli.
Kencing, kecuali kencing nabi. Kencing tetap najis, meskipun berasal dari burung yang halal dimakan, ikan, belalang dan bangkai hewan yang darahnya tidak mengalir. Kerikil yang keluar bersama atau sesudah kencing, dianggap najis jika orang yang dapat dipercaya mengatakan, bahwa kerikil itu berasal dari benda najis.
Jika tidak demikian, maka kerikil itu mutanajis (terkena najis) dan bisa suci dengan dibasuh. Tinja, baik dari manusia maupun dari hewan, meskipun tinja itu bentuknya seperti makanan.
Baca Juga : Terjemah Sulam Munajat, Makna Dua Kalimat Syahadat
Penjelasan:
Lemak yang ada di dalam usus kerbau hukumnya suci jika tidak bercampur dengan tahi, meskipun usus adalah tempat mengalirnya tahi, sebab kami tidak yakin bahwa lemak itu tahi dan kami tidak menganggapnya bercampur dengan tahi saat mengalirnya. Kami menghukumi dengan hal yang jelas, bahwa benda itu bukanlah tahi dan berbentuk lemak.
Namun sebagian ulama mengatakan, jika benda itu bisa digunakan untuk menghidupkan lampu, maka suci dan halal karena jelas lemak. Jika tidak demikian, maka najis dan termasuk kotoran, sebagaimana dikatakan Guru kami, Ali Ar Rahbini.
Darah, termasuk darah yang tersisa pada daging dan tulang. Namun darah ini ma’fu (dimaafkan) jika tidak bercampur dengan air. Kecuali darah telor yang tidak busuk, darah yang tidak mengalir seperti limpa, jantung, segumpal darah, segumpal daging, misik yang padat. Demikian juga sperma dan susu yang warnanya seperti darah.
Nanah, sebab nanah adalah darah yang berubah.
Muntahan, jika keluar dari perut meskipun belum berubah dan belum lama berada di dalamnya. Karena itu, benda hitam yang keluar dari beberapa hewan laut seperti tinta yang bisa digunakan untuk menulis adalah najis, sebab itu adalah kotoran yang keluar dari perut.
Lain halnya jika muntahan itu keluar dari kepala atau dada, seperti liur yang keluar dari mulut orang tidur, selama tidak diyakini bahwa liur itu keluar dari perut.
Sarang burung yang dikumpulkannya dari buih air laut adalah suci, sebab keluar dari mulut, bukan dari tembolok.
Anjing, meskipun terlatih.
Babi hutan.
Anak salah satu dari keduanya. Yang dimaksudkan adalah anak anjing dan babi itu sendiri, bukan anak hewan yang disusuinya. Baik anjing kawin dengan babi hutan, babi hutan kawin dengan anjing, atau keduanya kawin dengan hewan lain.
Bangkai, meskipun lalat dan semut hitam, rambutnya, telapak kakinya, kukunya, tanduknya, kulitnya meskipun diambil saat hewan masih hidup dan tulangnya, termasuk tulang lunak.
Penjelasan:
Benda yang ada di rumah tawon ada beberapa tingkatan. Pertama kali berupa telur tawon, lalu berubah menjadi ulat yang hidup, lalu mati, lalu berubah menjadi tawon yang bisa terbang. Benda pertama halal dan benda selanjutnya haram, sebagaimana ditegaskan sebagian ulama.
Ada beberapa bangkai yang suci dan merupakan pengecualian dari najisnya bangkai:
- Manusia, meskipun kafir.
- Ikan, meskipun mengapung.
- Belalang.
Hewan yang halal dimakan dan disembelih. Termasuk kategori hewan ini adalah janin hewan yang disembelih, hewan buruan yang mati karena dicekik dan hewan yang akan disembelih berontak lalu mati dipanah, sebab cara menyembelih ketiganya adalah hal-hal tersebut.
Bagian yang terpisah dari hewan saat hewan itu masih hidup, hukum suci dan najisnya sama dengan bangkainya. Karena itu, bagian dari manusia, ikan dan belalang adalah suci, sedangkan bagian dari selain ketiganya adalah najis, seperti bekas kulit ular. Lain halnya rumah laba-laba, sebab rumah itu berasal dari liurnya.
Demikian juga bulu hewan yang halal dimakan atau tidak diketahui apakah bulu itu dari hewan yang hidup atau dari hewan yang halal dimakan atau tidak, sebagaimana sayapnya. Rumah laba-laba, bulu hewan tersebut dan sayapnya adalah suci. Jika dari hewan yang halal dimakan dagingnya, ada bagian yang berambut terpisah, maka keduanya najis.
Apabila najis-najis tersebut bertemu dengan pakaian seseorang atau badannya atau tempat shalatnya atau benda padat lainnya, sedangkan najis tersebut atau benda yang ditemuinya basah, maka ada dua kemungkinan.
Pertama, najis itu ainiyah, yakni memiliki rasa yang bisa dirasakan dengan lidah atau memiliki warna yang dilihat dengan mata atau bau yang dirasakan dengan lidah, maka najis itu harus dicuci, sampai hilang. Najis tidak bisa disucikan dengan api atau angin, namun dengan air. Jika harus digunting atau digaruk atau harus menggunakan sabun, maka harus dilakukan. Jika tidak dilakukan, maka tetap najis.
Apabila warna najis saja yang sulit hilang, seperti warna darah haid atau baunya saja yang sulit hilang, seperti bau arak lama dan sebagian tinja, maka tidak apa-apa karena darurat dan tempat najis itu suci secara hakekat. Dalam hal ini, tidak ada perbedaan antara najis mughallazhah (najis anjing dan sejenisnya) dan najis lainnya.
Jika yang masih ada bau dan warna najis atau rasa najis saja, maka bermasalah, sebab masih adanya hal tersebut menunjukkan masih adanya dzatnya najis. Terkecuali jika tidak mungkin dihilangkan selain dengan dipotong, maka dimaafkan. Boleh mencicipi tempatnya najis jika diperkirakan rasanya telah hilang setelah dibasuh, sebagaimana jika belum jelas mana yang najis dan mana yang suci. Maka diperbolehkan mencicipi agar jelas mana yang suci. Jika najisnya nyata, maka haram mencicipinya.
Jika yang dicuci najis anjing dan babi hitan, maka setelah hilangnya dzatnya najis, harus ditambah enam kali agar lengkap tujuh basuhan dan salah satunya harus dicampur dengan debu suci yang mengeruhkan air. Dengan perantara air, debu dapat mencapai seluruh bagian benda yang najis. Tidak ada bedanya antara debu yang basah dan debu lainnya. Debu dari pasir boleh digunakan untuk mencampuri air.
Tidak sah menggunakan debu yang najis dan debu yang musta’mal (telah digunakan untuk mensucikan najis). Tidak cukup menaburkan debu ke tempat yang terkena najis dan tidak cukup menggaruknya tanpa air. Air harus digunakan, baik air dicampur dengan debu sebelum diletakkan pada tempat yang najis atau sesudahnya.
Jika najisnya hukmiyah, yakni tidak memiliki rasa, warna dan bau, misalnya kencing yang kering, maka tetap dicuci tujuh kali apabila mughallazhah. Hal ini taabbudi (tidak masuk akal). Salah satu dari tujuh tersebut harus dicampur dengan debu yang suci, namun ini berlaku untuk selain tanah yang berdebu.
Untuk tanah yang berdebu, tidak perlu dicampur dengan debu. Tidak ada bedanya antara yang musta’mal dan yang tidak. Najis hukmiyah yang tidak mughallazhah, cukup dibasuh sekali, baik air mengalir dengan sendirinya pada tempat najis maupun dialirkan. Untuk selain najis mughallazhah, disunatkan menambah basuhan kedua dan ketiga setelah hilangnya sifatsifat najis.
Apabila air kurang dari dua kullah digunakan untuk mensucikan najis, maka disyaratkan air itu dituangkan pada beda yang terkena najis dan tidak adanya najis pada air tersebut, meskipun najis ma’fu.
Bila najis mendatangi air, maka air itu menjadi mutanajis karena bertemu dengan najis. Bila seseorang membersihkan bejana, maka dia harus menggerakkan air pada tepi bejana itu setelah hilangnya dzatnya najis.
Bila dzatnya najis belum hilang, maka air menjadi mutanajis karena air bersama dengan najis di dalam bejana. Sedangkan air yang banyak (lebih dari dua kullah), tidak ada bedanya antara dituangkan pada tempat najis dan didatangi benda yang najis.
Bila benda yang terkena najis dimasukkan pada air yang sedikit, maka benda itu tidak suci dan najislah air serta benda yang bertemu dengannya. Air itu tidak bisa mensucikan benda lain karena ia lemah dan berubah.
Sebelum pakaian dimasukkan ke dalam bejana, harus diperas dahulu agar kencing yang ada padanya hilang, sampai tidak ada kencing yang bisa menetes.
Lain halnya jika air dari kendi misalnya dituangkan pada pakaian tersebut, maka tidak disyaratkan diperas dahulu sebelum air dituangkan, sebagaimana tidak disyaratkan memerasnya setelah dicuci.
Seseorang harus istibra’ (membebaskan diri) dari kencing saat selesai kencing agar tidak ada kencing yang kembali keluar, sebab bisa menajiskannya, sampai dia mengira bahwa kencing tidak kembali keluar.
Istibra’ adakalanya dengan berjalan paling jauh tuju puluh langkah atau dengan berdehem atau dengan mengusap kemaluan bagian atas atau dengan mengusap perut atau mengusap beberapa otot. Hal itu tergantung kebiasaan orang yang bersangkutan. Wajibnya istibra’ adalah ketika mengira kencing kembali keluar seandainya tidak istibra’.
Jika tidak mengira kencing kembali keluar, maka istibra’ tidak wajib. Istibra’ dari berak hukumnya sama. Janganlah terlalu dalam beristibra’, sebab bisa mendatangkan waswas dan membahayakan.
Setelah melakukan istibra’, wajib segera cebok bila ingin melakukan shalat misalnya atau karena sempitnya waktu shalat. Saat cebok tinja, diharuskan mengejankan dubur, sehingga kotoran yang ada di sela-selanya terbasuh.
Dubur harus digosok, sampai kira-kira rasa, bau dan warna najis hilang. Gunakan jari tengah untuk mem-bersihkan dubur dan gunakan air secukupnya, sampai kira-kira najis telah hilang. Setelah membasuh dubur, basuhlah tangan dan percikilah kemaluan serta celana dengan air setelah cebok untuk menolak was-was.
Apabila najis-najis tersebut bertemu dengan air dan air itu murninya ada dua kullah meskipun musta’mal, maka air tidak najis, kecuali jika najis itu merubah salah satu dari ketiga sifatnya: rasanya atau warnanya atau baunya.
Maka air itu najis, meskipun berubahnya hanya sedikit atau berubahnya hanya kira-kira, yaitu air kejatuhan najis yang sifatnya sama dengan air, misalnya kencing yang hilang baunya, rasanya dan warnanya. Maka air itu diperkirakan sebagai benda yang sangat berbeda dengan air, misalnya rasanya cukak, hitamnya tinta dan bau misik.
Jika najis itu merubah air meskipun sedikit saja, maka air najis. Dua kullah dengan ukuran bejana adalah empat tempayan, dengan timbangan Betawi adalah 322 dan dengan Real Betawi adalah 8062 Real. Semua itu hanya perkiraan untuk memudahkan orang awam. (Untuk ukuran modern, dua kullah adalah air di dalam kullah 60 cm x 60 cm x 60cm)
Air yang berubah tersebut menjadi suci jika perubahannya sirna sendiri karena lamanya waktu atau karena air yang ditambahkan meskipun mutanajis atau karena air yang keluar dari mata air atau karena hujan atau karena banjir atau karena berkurang dan sisanya masih ada dua kullah.
Lain halnya jika rasanya berubah karena cukak, warnanya berubah karena za’faran dan debu, baunya berubah karena misik misalnya. Maka air tersebut masih najis karena ada kemungkinan bau atau warna atau rasanya najis tertutup oleh cukak atau za’faran atau debu atau misik tadi.
Apabila air kurang dari dua kullah, maka air najis karena bertemu dengan najis yang tidak ma’fu, meskipun tidak berubah. Banyak ulama madzhab Syafi’i memilih pendapat Imam Malik, bahwa air tidak najis secara mutlak, kecuali karena berubah. Air tersebut suci karena mencapai dua kullah meskipun ditambah dengan air mutanajis atau air yang berubah atau air musta’mal jika tidak berubah.
Penjelasan:
Air sedikit yang mendatangi dapat menghilangkan hadas dan najis dan tidak bisa menghilangkan keduanya jika didatangi. Itulah sebabnya ulama berbeda pendapat mengenai air musta’mal yang banyak pada akhirnya, apakah hukum musta’malnya hilang atau tidak? Dan mereka sepakat bahwa air musta’mal yang banyak pada permulaan, hukum musta’malnya hilang.
Apabila najis bertemu dengan benda cair selain air, maka benda itu najis, baik benda itu banyak atau sedikit, baik berubah atau tidak berubah, sebab tidak sulit menjaganya. Lain halnya dengan air. Benda cair tersebut tidak akan bisa suci, baik dengan dicuci maupun lainnya.
Najis ada empat macam:
Pertama, najis yang ma’fu pada air dan tidak ma’fu pada pakaian, misalnya anus burung dan bangkai hewan yang darahnya tidak mengalir.
Kedua, najis yang ma’fu pada pakaian dan tidak ma’fu pada air, misalnya darah sedikit dari hewan yang tidak mughallazhah, tidak bercampur dengan najis lain dan bukan hasil perbuatan seseorang. Contoh lain adalah darah banyak dari seseorang jika tidak berpindah dari tempatnya, tidak merupakan hasil perbuatan orang dan tidak bercampur dengan najis lain. Dan bekas cebok.
Ketiga, najis yang ma’fu secara mutlak, yaitu najis yang tidak terlihat oleh mata biasa, misalnya setitik air kencing dan najis yang menempel pada kaki lalat.
Keempat, najis yang tidak ma’fu secara mutlak, misalnya kencing, tinja dan sejenisnya.
Syarat kedua dari dua belas syarat shalat adalah thaharah, yakni mensucikan empat buah anggota badan serta seluruh badan dari hadas kecil dan hadas besar dengan wudlu dan mandi atau dengan tayamum sebagai pengganti keduanya.
Jika seseorang shalat lupa akan hadas, maka dia diberi pahala atas bacaan Al-Qur’an asal dia tidak junub. Dia juga diberi pahala atas dzikir-dzikir secara mutlak dan atas niatnya, bukan atas perbuatannya.
Ketahuilah, bahwa thaharah ada dua, yaitu ainiyah dan hukmiyah. Ainiyah adalah thaharah yang tidak melewati hal yang menyebabkannya, misalnya mandi junub. Sedangkan thaharah hukmiyah adalah thaharah yang melewati hal yang menyebabkannya, misalnya wudlu dan mandi junub.
Bersuci itu ada empat, yaitu:
- Wudlu,
- Mandi,
- Menghilangkan najis, dan
- Tayamum.
Sedangkan alat bersuci itu ada empat, yaitu:
- Air,
- Debu,
- Tanah untuk cebok, dan
- Benda untuk menyamak.
Baca Juga: Terjemah Lengkap Sulam Munajat
Demikian Syarat, Rukun dan Hal-Hal Yang Membatalkan Shalat, Terjemah Sulam Munajat, semoga dapat dipahami dengan mudah, dan dapat mempermdah dalam memahami isi kitab Sulam Munjat.
Untuk Bab selanjutnya yaitu Fardlu Wudlu
Tetap ikuti Situs San3kalongbm.com untuk mendapatkan update informasi seputar Religi dan terjemah kitab-kitab pesantren salaf. Wallahu A'lam bisowab.....
Terimakasih, Wassalam .....San3kalongbm
Post a Comment for "Syarat, Rukun dan Hal-Hal Yang Membatalkan Shalat, Terjemah Sulam Munajat"