Rukun Shalat, Terjemah Sulam Munajat
San3kalongbm.com - Rukun Shalat, Terjemah Sulam Munajat - Rukun shalat itu ada sembilan belas, bila thumakninah dijadikan rukun sendiri dan dua sujud dianggap dua rukun. Pertama, niat dengan hati. Dan rukun ini merupakan ijma’ ulama. Sunat mengucapkan niat tepat sebelum takbir agar lidah membantu hati, di samping ada ulama yang mewajibkannya.
Niat harus mencakup tiga hal:
1. Bermaksud mengerjakan shalat dan ini diredaksikan dengan kata ” أصلى ” (aku shalat) atau ” أؤدى ” (aku menjalankan shalat). Inti ucapan tersebut adalah bermaksud melakukan shalat. Jika hanya mengucapkannya dalam hati, namun hati kosong dari tujuan mengerjakan shalat, maka niat tidak sah.
2. Menyatakan kefardluan shalat apabila shalatnya fardlu. Hal ini diredaksikan dengan kata ” فرض ” (fardla). Hal ini wajib jika shalatnya fardlu, meskipun fardlu kifayah atau mu’adah (shalat yang diulangi) atau nadzar.
3. Menentukan Shalat. Yakni shalat itu berwaktu atau bersebab. Tidak sah niat shalat yang wajib saat itu karena mencakup shalat gadla. Hal ini diredaksikan dengan kata Zhuhur atau Ashar atau Maghrib atau Isya’ atau Shubuh atau Qabliyah atau Ba’diyah atau Idul Fitri atau Idul Adha atau gerhana matahari atau gerhana rembulan.
Tidak sah berniat sunat shalat Zhuhur sebab Zhuhur memiliki gabliyah dan ba’diyah. Lain halnya shalat Shubuh dan Ashar yang tidak memiliki shalat sunat ba’diyah. Tidak sah juga berniat sunat id atau sunat gerhana sebab tidak menentukan.
Apabila ketiga hal tersebut sudah hadir dalam hati, maka ucapkan “ الله اكبر ” (Allah Maha Besar) tanpa melupakan ketiganya. Apabila shalatnya jama’ah, maka harus ditambah dengan kata ” مأموماً “(makmum) atau ” جماعة ” (jama’ah), sebab dia mengikuti shalat orang lain, maka dia butuh niat.
Kata jama’ah juga layak bagi imam, namun tetap sah makmum berniat jama’ah, karena jama’ah imam lain dengan jama’ah makmum. Untuk shalat sunat mutlak, yaitu shalat yang tidak terikat oleh sebab maupun waktu, cukup berniat shalat saja, sebab sunat mutlak adalah shalat yang paling rendah derajatnya.
Rukun Shalat Kedua Takbiratul Ihram, yaitu mengucapkan ” الله اكبر ” (Allah Maha Besar). Bila seseorang tidak mampu mengucapkannya dengan bahasa Arab dan dia tidak mungkin belajar saat itu, maka dia harus menerjamahkannya dengan bahasa apapun yang dia bisa.
Yang terbaik menerjemahkan takbiratul ihram dengan bahasa Persia, meskipun bukan bahasa orang yang bersangkutan. Tidak boleh beralih ke dzikir yang lain dan dia harus belajar jika mampu, meskipun dengan bepergian.
Niat harus disertakan dengan seluruh takbiratul ihram dan ketiga hal yang diharuskan dalam niat harus dihadirkan dalam hati bersama permulaan takbiratul ihram, kemudian tetap menghadirkannya sampai ra’ dari ” قصر ” Niat qashar (meringkas shalat empat rakaat menjadi dua rakaat) harus disertakan dengan seluruh bagian takbir, sepertiga niat kefardluan dan lainnya.
Sebagaimana ditegaskan Al Madabighi. Namun An Nawawi memilih pendapat yang didukung oleh Imam Haramain dan Al Ghazali, bahwa penyertaan di atas cukup penyertaan urfi menurut orang awam, yaitu permulaan takbiratul ihram mendahului penghadiran sempurnanya niat. Boleh juga niat bersamaan dengan hamzah dan seluruh takbir, sebagaimana dijelaskan Umar Al Basri.
Rukun Shalat ketiga adalah membaca Al Fatihah atau penggantinya ketika berdiri dalam setiap rakaat dan dalam tiap berdiri dari empat berdiri shalat gerhana. Terkecuali makmum masbuq, dia tidak wajib membaca Al Fatihah, sebab meskipun surat tersebut wajib baginya, namun imam menanggungnya untuk dia.
Bila seseorang tidak mampu membaca surat Al Fatihah, maka dia wajib membaca tujuh ayat meskipun terpisah-pisah dan tidak menunjukkan arti yang teratur. Kalau tidak bisa, maka dia wajib membaca dzikir tujuh macam. Bila tidak bisa, dia wajib menerjemahkan Al Fatihah. Jika tidak bisa, dia harus berdiri seperti waktu lamanya rata-rata orang membaca Al Fatihah.
Rukun Shalat keempat adalah Berdiri dalam shalat fardlu jika mampu, meskipun harus dengan tali atau pembantu yang dibayar misalnya. Meskipun shalat tersebut nadzar, shalat anak kecil dan shalat muadah.
Rukun Shalat kelima adalah Ruku’ dengan cara membungkuk bagi orang yang berdiri dan mampu meskipun selalu dengan bantuan orang lain sebab waktunya sebentar dan meskipun dia miring ke arah lambungnya dengan syarat tidak keluar dari menghadap kiblat atau dengan berpegangan pada tongkat.
Membungkuk ruku’ harus murni, yaitu tanpa mengendorkan lutut, sehingga bagian dalam kedua telapak tangan menempel pada lutut bagi orang yang tingginya sedang jika ingin melakukan hal tersebut yang hukumnya sunat.
Orang yang shalat duduk lain hukumnya dan kewajibannya adalah membungkuk sehingga keningnya sejajar dengan sesuatu yang’ada di depan kedua lututnya.
Tidak sah jika membusungkan dada dan mengeluarkan dua lutut, sebab memegang kedua lutut tidak terjadi jika membungkuk-nya demikian. Bila seseorang kedua tangannya panjang atau pendek atau sebagian tangannya terpotong, maka cara di atas tidak diharus-kan.
Rukun Shalat keenam adalah Thumakninah pada saat ruku’, yaitu gerakan turunnya dari berdiri terputus dengan gerakan bangunnya dari ruku’ serta seluruh anggota badannya tenang sebelum bangun. Bila seseorang menambahi turunnya dari minimal ruku’ dan dia bangun, sedangkan gerakannya terus menerus, maka tidak dianggap thumakninah.
Rukun Shalat ketujuh adalah I’tidal meskipun shalat sunat, yaitu berdiri tegak atau kembali duduk tegak sebagaimana sebelum ruku’, sebab Nabi saw. bersabda:
“Apabila kamu mengangkat kepalamu dari ruku’, maka tegakkanlah punggungmu, sampai tulang-tulang kembali dari persendiannya.”
Rukun Shalat kedelapan adalah thumakninah ketika i’tidal sebagaimana kami sebutkan dalam ruku’, sebab Nabi saw. thumakninah dan bersabda:
“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.”
Apabila seseorang sujud dan bimbang apakah i’tidalnya sempurna atau tidak, maka dia harus i’tidal dan thumakninah, kemudian bersujud.
Rukun Shalat kesembilan adalah sujud pertama. Cara sujud adalah sebagai berikut:
- Meletakkan kening pada tempat sujud, meskipun dengan bantuan orang lain dan meskipun bagian kening yang diletakkan hanyalah minimal, dengan syarat bagian tersebut terbuka bila tidak ada udzur.
- Kening ditekan sedikit, sehingga seandainya sujud dilakukan di atas sebuah kapas atau rumput, maka pengaruh tekanan itu jelas.
- Sujud dilakukan di atas benda yang tidak bergerak karena gerakan orang yang shalat secara teori menurut Ar Ramli dan secara nyata menurut Ibnu Hajar. Yang dimaksudkan adalah gerakan saat berdiri dan duduk.
- Mengangkat pantat dan sekitarnya di atas pundak, tangan dan kepala. Hal ini harus dilakukan oleh orang yang mampu.
- Meletakkan bagian meskipun sedikit dari dua lutut, bagian dalam telapak tangan dan bagian dalam jari-jari telapak kaki di atas tempat shalat. Meletakkan lutut di atas bagian luar telapak tangan tidak cukup.
Kelima hal tersebut harus dilakukan secara bersamaan dalam satu waktu. Karena itu, bila seseorang meletakkan lutut, telapak tangan dan telapak kaki dan dia mengangkatnya sebelum meletakkan kening, kemudian dia meletakkan kening atau sebaliknya, maka sujudnya tidak sah, sebab ketiga anggota badan tersebut statusnya pengikut bagi kening.
Bila dia mengangkat sebagian anggota badan sujud setelah sujud sempurna dan melamakannya kira-kira selama satu rukun, maka shalatnya batal.
Rukun shalat kesepuluh adalah thumakninah ketika sujud pertama sebagaimana thumakninah dalam ruku’, sebab Nabi saw. bersabda kepada Khallad ra.
“Kemudian sujudlah kamu sampai kamu thumakninah ketika sujud.”
Rukun Shalat Kesebelas adalah duduk di antara dua sujud dengan cara duduk dengan tegak, sebab Nabi saw. bersabda:
“Tidak cukup shalat lelaki, sampai dia menegakkan punggungnya dari ruku’ dan dan sujud.” (HR. Abu Dawud dan lainnya)
Apabila seseorang mampu berdiri dan tidur berbaring, namun tidak mampu duduk, maka dia harus shalat berdiri, sebab berdiri adalah duduk dan ada tambahan. Duduk antara dua sujud dan i’tidal tidak boleh dilakukan lama.
Bila dia melamakan i’tidal lebih lama dari dzikir yang dianjurkan pada i’tidal dalam shalat tersebut menurut bacaan mayoritas orang terhadap Al Fatihah, atau dia melamakan duduk antara dua sujud lebih dari dzikir yang dianjurkan kira-kira seperti bacaan yang wajib dalam tahiyat, maka shalatnya batal. Itu bila dia sengaja dan tahu larangan.
Bila tidak demikian, maka shalatnya tidak batal. Terkecuali i’tidal rakaat terakhir dalam shalat fardlu atau shalat sunat, yakni shalat tidak batal bila i’tidal tersebut dilamakan, sebagaimana dikutip oleh Al Wanai dari Ibnu Hajar.
Rukun shalat kedua belas adalah thumakninah pada duduk tersebut sebagaimana thumakninah yang kami sebutkan dalam ruku’, sebab Nabi saw. bersabda kepada Khallad ra.:
“Kemudian bangunlah, sampai kamu thumakninah dalam keadaan duduk.”
Rukun shalat ketiga belas adalah sujud kedua sebagaimana sujud pertama dalam hal-hal tadi, yaitu harus meletakkan tujuh anggota badan secara bersamaan dan lainnya. Sujud diulangi dua kali dan rukun lainnya tidak, sebab sujud lebih sempurna dalam tawadi!u’.
Rukun shalat keempat belas adalah thumakninah pada sujud kedua sebagaimana kami tuturkan dalam ruku’. Bila seseorang harus memilih antara menungging dan meletakkan ketujuh anggota badan tersebut, maka yang didahulukan adalah menungging, sebab An Nawawi dan Ar Rafi’i sepakat bahwa menungging wajib.
Sedangkan meletakkan ketujuh anggota badan, tidak wajib menurut Ar Rafi’i, kecuali meletakkan kening. Apabila seseorang mengangkat kepalanya saat sujud setelah thumakninah, kemudian dia kembali meletakkan kening, maka shalatnya batal. Lain halnya bila dia meletakkan salah satu dari ketujuh anggota badan selain kepala, kemudian dia segera meletakkannya kembali, maka tidak batal shalatnya.
Rukun shalat kelima belas adalah duduk terakhir, yakni duduk dengan tegak yang terjadi pada akhir shalat, baik duduknya tawaruk atau iftirasy atau bersila atau kedua kakinya dibujurkan atau kedua lututnya ditegakkan atau salah satu lututnya ditegakkan.
Rukun shalat keenam belas adalah membaca tasyahhud pada duduk tersebut. Lafazh-lafazh itu disebut tasyahhud, sebab mengandung tasyahhud yang merupakan bagian paling mulia.
Rukun shalat ketujuh belas adalah membaca shalawat kepada Nabi Muhammad saw. setelah tasyahhud dalam duduk. Minimal shalawat kepada Nabi Muhammad saw. adalah:
“Ya Allah, bershalawatlah kepada Muhammad.”
Disunatkan bershalawat kepada keluarga Nabi pada tasyahhud akhir ini dan tidak disunatkan pada tasyahhud pertama sebab tasyahhud pertama diperintah singkat. Di samping itu, bershalawat kepada keluarga Nabi pada tasyahhud awal adalah memindahkan rukun gauli (rukun yang berupa ucapan) pada rukun gauli yang lain dan hal ini membatalkan menurut salah satu pendapat.
Rukun shalat kedelapan belas adalah salam sekali setelah shalawat ketika duduk. Salam harus dilakukan setelah mim dari kata ” عَلَيْكُمْ ” ketika duduk atau pengganti kata ” عَلَيْكُمْ ” sementara dada masih menghadap kiblat. Salam minimal adalah ” اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ ” atau sebaliknya, yaitu ” عَلَيْكُمْ السَّلاَمْ ” namun makruh. Salam yang paling lengkap dan sempurna adalah “ اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ ” sebab salam inilah yang diriwayatkan dari Nabi. Tanpa kata ” وَبَرَكَتُهْ “ kecuali pada shalat jenazah, di mana kata tersebut sunat menurut Ibnu Hajar.
Rukun shalat kesembilan belas adalah urut antara rukun-rukun, kecuali yang dikecualikan. Yakni berniat bersamaan dengan takbiratul ihram, lalu membaca Fatihah ketika berdiri, lalu ruku’ dengan thumakninah, lalu i’tidal dengan thumakninah, lalu sujud pertama dengan thumakninah, lalu duduk setelahnya dengan thumakninah, lalu sujud kedua dengan thumakninah.
Demikian urutan tiap rakaat, kemudian lakukan sisa rakaat, baik kedua, lalu ketiga dan keempat. Hanya saja pada sisa rakaat ini tidak ada niat dan takbiratul ihram, bahkan jika keduanya dilakukan, maka shalatnya batal.
Apabila seluruh rakaat telah selesai, vakni telah menambah satu rakaat untuk shalat Shubuh, rakaat kedua dan ketiga untuk shalat Maghrib dan rakaat kedua, ketiga, keempat untuk shalat Zhuhur, Ashar dan Isva’, maka duduklah dengan duduk terakhir, yaitu duduk yang setelahnya ada salam, meskipun shalatnya hanya mempunyai satu tasyahhud.
Kemudian bacalah tasyahhud pada duduk tersebut, kemudian bacalah shalawat kepada Nabi saw. dengan mengucapkan: ” اللهم صلى على محمد ” atau mengucapkan ” الصلات على محمد ” bila bermaksud doa sebagaimana dijelaskan Ibnu Hajar. Kemudian ucapkan salam dengan mengucapkan ” اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ “ Yang wajib adalah sekali, meskipun tidak disertai menoleh, sebab diriwayatkan bahwa Nabi saw. mengucapkan salam sekali ke depan.
Hikmah jumlah rakaat shalat lima waktu adalah bersyukur atas nikmat-nikmat yang ada dalam kelima panca indera dan ditutupinya kesalahan pada kelimanya.
Penjelasannya adalah rakaat Shubuh dua, sebab menyentuh dengan kulit dapat mengindera halus dan kasar. Dua rakaat tersebut adalah untuk mensyukuri keduanya dan mensyukuri ditutupinya kesalahan pada keduanya.
Jumlah rakaat Zhuhur adalah empat, karena mencium dapat mengindera benda yang dicium dari empat penjuru. Empat rakaat adalah mensyukuri hal itu dan mensyukuri ditutupinya kesalahan pada keempatnya. Jumlah rakaat Ashar empat, karena mendengar dapat mengindera benda yang didengar dari empat penjuru.
Empat rakaat adalah mensyukuri hal itu dan mensyukuri ditutupinya kesalahan pada keempatnya. Jumlah rakaat Maghrib adalah tiga, karena benda yang dilihat itu terlihat dari tiga penjuru, yaitu depan, kiri dan kanan dan tidak terlihat dari belakang.
Tiga rakaat adalah untuk mensyukuri hal itu dan mensyukuri ditutupinya kesalahan padanya. Jumlah rakaat Isya’ adalah empat, karena lidah mengindera dingin, panas, pahit dan manis. Empat rakaat adalah untuk mensyukuri hal tersebut dan mensyukuri ditutupinya kesalahan padanya.
Ketahuilah, bahwa shalat adalah saat munajat hamba kepada Tuhannya, pembersih hati dari dosa dan penghubung antara hamba dengan Tuhannya. Muhammad bin Ali At Tirmidzi berkata: “Shalat adalah tiang agama dan merupakan hal yang pertama kali diwajibkan Allah kepada hamba-Nya. Saat hamba shalat, Allah menghadap kepada hamba-Nya agar mereka menghadap kepada-Nya sebagai hamba.
Berdiri dalam shalat menunjukkan kehinaan hamba, takbiratul ihram menunjukkan dia menyerahkan diri, sanjungan hamba dan bacaan Al-Qur’an menunjukkan dia menghinakan dirinya, ruku’ menunjukkan dia merendahkan diri, sujud menunjukkan dia khusyu’, duduk menunjukkan dia cinta kepada Allah dan tasyahhud menunjukkan dia mencari muka kepada Tuhannya.
Hendaknya para hamba menghadap kepada Allah dengan cara yang demikian agar Allah menghadap kepada mereka dengan rahmat dan sayang. Dalam Islam, tidak ada yang lebih besar daripada shalat.”
Ketahuilah, bahwa syarat diterimanya ibadah adalah ikhlas. Bila seseorang melakukan amal perbuatan tanpa disertai ikhlas, maka dia tidak memperoleh pahala dari Allah, meskipun perbuatannya sah secara lahir karena syarat dan rukunnya sudah terpenuhi. Riya haram dalam seluruh perbuatan.
Sebagian ulama menyerupakan seluruh amal perbuatan dengan pohon yang diinginkan buahnya. Syarat bagaikan akar, rukun bagaikan batang pohon, sunat ab’ad! bagaikan dahan yang besar atau dahan secara mutlak, sunat haiat bagaikan dahan yang kecil dan daun, sedangkan ikhlas bagaikan buahnya.
Pohon tidak tegak kecuali dengan adanya batang dan pohon tidak disebut pohon kecuali bila ada dahannya. Bila dahannya banyak, maka pohon menjadi besar. Bila pohon ada buahnya, maka tercapailah cita-cita orang yang menanamnya.
Rukun shalat dari segi tempatnya ada tiga macam:
Pertama, rukun yang tempatnya dihati. Hati disebut ” قَلْبًا ” karena memikirkan banyak urusan. Bila Nabi saw. mengangkat pandangan ke langit, beliau berkata:
“Wahai Tuhan yang membolak balikkan hati, tetapkanlah hatiku atas taat kepada-Mu.”
Atau karena hati adalah inti badan. Rukun yang tempatnya hati adalah niat saja, sedangkan mengucapkannya hanyalah sunat hukumnya untuk membantu hati dan karena ada ulama yang mewajibkannya.
Syarat niat ada dua. Pertama, bersamaan dengan takbiratul ihram, tidak boleh mendahuluinya maupun sesudahnya. Kedua, niat dilakukan ketika berdiri dalam shalat fardlu dan menghadap kiblat.
Kedua, rukun yang berupa ucapan dengan lidah. Rukun ini ada lima sebagaimana berikut ini:
- Takbiratul ihram pada permulaan shalat.
- Membaca Al Fatihah tiap rakaat ketika berdiri bila berdiri itu wajib bagi imam, makmum dan orang yang shalat sendirian.
- Membaca tasyahhud.
- Shalawat kepada Nabi saw.
- Salam pertama pada akhir shalat. Ketiga rukun terakhir dilakukan dalam duduk terakhir.
Syarat kelima rukun tersebut adalah sebagai berikut:
Seluruh hurufnya didengar oleh telinga orang yang bersangkutan bila dia tidak tuli dan tidak ada gangguan pendengaran, baik angin maupun gaduh atau hal sejenis, seperti telinga tersumbat. Bila ada gangguan, maka dia harus mengeraskan suaranya, sekira seandainya dia tidak tuli atau gangguan itu sirna, dia bisa mendengar.
Tidak mengurangi sedikitpun dari tasydidnya. Tasydid takbiratul ihram satu, tasydid minimal salam satu, tasydid minimal tasyahhud enam belas, tasydid tasyahhud paling sempurna ditambah lima, tasydid minimal shalawat Nabi empat, tasydid Al Fatihah empat belas.
Bila seseorang mengurangi satu dari tasydid-tasydid tersebut, maka bacaannya tidak sah, baik dia sengaja atau lupa. Namun bila dia tidak membaca tasydid pada kata “ اِيَّاكَ ” dengan sengaja dan tahu maknanya, maka dia kafir, sebab kata ” اَلاِيَا " artinya kami menyembah cahaya matahari-Mu.
Apabila dia lupa atau tidak tahu, maka dia sunat sujud sahwi dan dia harus mengulangi bacaan dengan benar.
Tidak mengurangi sedikitpun dari hurufnya. Huruf takbir 8, huruf minimal salam 11, huruf minimal tasyahhud 105, huruf minimal shalawat Nabi 14, huruf Al Fatihah 141.
Mengeluarkan huruf dari makhrajnya (tempat keluarnya). Bila seseorang mengganti hamzah kata ” أَكْبَر ” dengan wawu, maka membatalkan bila dia orang tahu dan tidak membatalkan bila dia tidak tahu, sebagaimana dijelaskan Al Barmawi.
Bila huruf “ح “dari ” الحدلله diganti dengan ” ه” atau huruf ” ق”, maka bacaannya batal, terkecuali jika dia tidak mungkin belajar sebelum waktu shalat habis. Hal tersebut berlaku dalam seluruh penggantian huruf dengan lainnya, meskipun merubah makna, sebagaimana dijelaskan Ibnu Hajar.
Tidak merubah satupun dari harakatnya dengan perubahan yang membatalkan maknanya. Misalnya mengkasrahkan hamzahnya dan ba’nya ” أَكْبَر ” sebab “ " maknanya sesuatu yang dihasilkan oleh tawon namun tidak begitu manis. Juga mengkasrahkan sinnya ” السلام ” sebab ” الحجارة ” maknanya batu. Demikian juga membaca fat-hah hamzahnya ” أهْدنَ ” dan membaca dlammah atau kasrah ta’nya " أَنْعَمْت ".
Tidak menambahkan huruf pada kelimanya yang membatalkan maknanya. Misalnya memanjangkan hamzahnya kata ” الجلالة “, menambahkan wawu mati atau hidup setelah kata tersebut, menambahkan huruf wawu sebelum kata tersebut. Namun diperbolehkan menambahkan wawu sebelum “ اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ ” sebab ada kata yang mendahuluinya.
Lain halnya dengan takbir, maka tidak sah menambahkan huruf wawu sebelumnya. Termasuk yang tidak diperbolehkan adalah membaca Al-Qur’an dalam shalat dengan gira’ah syadzdzah yang merubah makna.
Penjelasan:
Muhammad Al Khalili berkata dalam Fatawinya: “Aku bertanya kepada Guru kami Muhammad Al Bagari mengenai orang yang membaca Al-Qur’an dan tidak membaca ghunnah (berdengung) dengan benar pada mim dan nun, lalu beliau menjawab: “Aku telah menanyakan hal itu kepada Guru kami Al Yamani (yakni ahli gira’ah Al-Qur’an pada periodenya), lalu beliau menjawab:
“Jika seseorang bersumpah bahwa bacaan orang itu tidak disebut Al-Qur’an, dia tidak melanggar sumpahnya.” Dari jawaban tersebut dapat disimpulkan, bahwa orang yang membaca Al-Qur’an namun tidak membacanya dengan baik, dia merubah i’rabnya dan hukumnya, dia lebih tidak disebut Al-Qur’an. Jika orang yang junub membacanya seperti itu, hukumnya tidak haram, sebab itu bukan Al-Qur’an.
Membaca lafazh-lafazhnya dengan terus menerus, yaitu tidak memisahkan satupun dari lafazh-lafazh itu dengan lafazh setelahnya lebih dari diam untuk bernafas.
Mengurutkan kelima rukun di atas sesuai urutannya yang dikenal, karena urutan dalam surat Al Fatihah adalah letak kemukjidzatan. Jika seseorang mengakhirkan lafazh yang seharusnya tidak diakhirkan, maka bacaannya batal dan dia harus mengulangi bacaan dengan benar selama belum lama berselang. Bila telah lama, maka harus dimulai dari awal.
Ketiga, rukun yang berupa perbuatan dengan badan, yaitu tiga belas rukun: berdiri, ruku’ dan thumakninahnya, i’tidal dan thumakninah-nya, sujud pertama dan thumakninahnya, duduk setelahnya dan thumakninahnya, sujud kedua dan thumakninahnya, satu rukun pada rakaat terakhir yaitu duduk terakhir, rukun yang timbul dari melakukan rukun-rukun tersebut pada tempatnya yaitu tertib. Tertib adalah meletakkan sesuatu pada tempatnya.
Jabir dan Muadz ra. berkata: “Saat Nabi saw. naik ke langit, pada langit terdekat beliau melihat banyak malaikat yang selalu berdiri sejak mereka diciptakan oleh Allah sambil berdzikirdan mereka tidak ruku’.
Pada Langit kedua, beliau melihat banyak malaikat yang selalu ruku’ dan tidak mengangkat kepala mereka. Pada langit ketiga, beliau melihat banyak malaikat yang bersujud dan tidak mengangkat kepala mereka, kecuali saat Nabi mengucapkan salam. Saat itulah mereka mengangkat kepala mereka dan karena itulah sujud diulangi dua kali tiap rakaat.
Pada langit keempat, beliau melihat banyak malaikat . yang selalu tasyahhud. Pada langit kelima, beliau melihat banyak malaikat yang sujud dan selalu dzikir Allah. Pada langit keenam, beliau melihat banyak malaikat yang selalu bertakbir.
Pada langit ketujuh, beliau melihat banyak malaikat yang selalu mengucapkan: “Ya Salam ya Salam” sejak Allah menciptakan mereka. Dalam hati Nabi saw. berharap agar ibadah ketujuh langit diberikan kepada beliau dan umatnya, kemudian Allah tahu hati Nabi, kemudian Allah memberikan seluruh ibadah ketujuh langit dalam dua rakaat untuk Nabi saw. dan umatnya.
Karena itu, barangsiapa berdiri dalam shalatnya dengan mengagungkan Allah dan menyempurnakan rukun, ruku’ dan sujudnya, maka dia mendapat pahala para malaikat ketujuh langit.” Syarat rukun fi’liyah (rukun yang merupakan perbuatan) adalah sebagai berikut:
Sahnya rukun sebelumnya. Bila seseorang bimbang ketika ruku’ apakah dia telah membaca Al Fatihah atau belum, atau dia bimbang ketika sujud apakah dia telah i’tidal atau belum, maka dia harus segera berdiri. Bila dia bimbang saat sujud apakah dia telah ruku’ atau belum, maka dia juga harus segera berdiri, lalu ruku’.
Dalam masalah ini, tidak sah bila dia langsung ruku’. Ingat dalam hal ini sama dengan bimbang. Apabila dia bimbang saat berdiri, apakah dia sudah membaca Al Fatihah atau belum, maka dia harus segera membaca Al Fatihah, sebab dia belum berpindah dari tempat Al Fatihah.
Hanya bertujuan melakukan rukun fi’liyah. Bila seseorang mengangkat kepalanya dari ruku’ karena terkejut sesuatu, maka dia harus kembali ruku’, kemudian i’tidal. Lain halnya apabila dia bimbang saat ruku’ apakah dia telah membaca Al Fatihah atau belum, lalu dia berdiri untuk membacanya, kemudian dia ingat bahwa dia telah membacanya, maka berdirinya bisa menjadi i’tidal.
Bila dia mengangkat kepalanya dari sujud misalnya karena duri yang menusuknya, maka dia harus mengulangi mengangkat kepala. Jika dia sujud di atas suatu benda kasar yang melukai keningnya misalnya, lalu dia memindahkan keningnya tanpa mengangkatnya, maka tidak apa-apa.
Demikian juga bila dia mengangkatnya sedikit, lalu mengembalikannya dan tidak thumakninah. Bila tidak demikian, maka shalatnya batal. Bila dia mengangkat keningnya tanpa alasan, maka shalatnya batal secara mutlak, baik dia thumakninah atau tidak.
Demikian Rukun Shalat, Terjemah Sulam Munajat, semoga dapat dipahami dengan mudah, dan dapat mempermdah dalam memahami isi kitab Sulam Munajat.
Bab selanjutnya pada terjemah kitab Sulam Munajat yakni Hal-Hal Yang Membatalkan Shalat
Tetap ikuti Situs San3kalongbm.com untuk mendapatkan update informasi seputar Religi dan terjemah kitab-kitab pesantren salaf. Wallahu A'lam bisowab.....
Terimakasih, Wassalam .....San3kalongbm
Post a Comment for "Rukun Shalat, Terjemah Sulam Munajat"