Menutup Aurat Syarat Shalat Yang Keempat, Terjemah Sulam Munajat
San3kalongbm.com - Menutup Aurat Syarat Shalat Yang Keempat, Terjemah Sulam Munajat - Shalat adalah salah satu ibadah yang wajib dilakukan oleh seluruh umat muslim didunia. Dalam melaksanakan shalat tersebut seorang muslim harus memahamidan mengetahui tentang syarat sahnya shalat,salah satunya yakni Menutup Aurat.
Ilustrasi Aurat Shalat |
Nah, pada artikel kali ini admin akan berbagi terkait Menutup Aurat Syarat Shalat Yang Keempat, Terjemah Sulam Munajat, sebagai lanjutan dari bab sebelumnya yakni Waktu Shalat, Terjemah Sulam Munajat.
Syarat shalat yang keempat, menutup aurat. Bagi lelaki, auratnya adalah anggota badan di antara lutut dan pusar, meskipun dia budak dan belum tamyiz. Demikian juga bagi sahaya wanita, meskipun muba’adl, mukatab dan ummul walad.
Aurat bagi wanita adalah seluruh badannya, meskipun dia belum tamnyiz, kecuali wajah dan dua telapak tangannya, baik luar maupun dalam sampai pergelangan tangan.
Demikian juga bagi waria yang merdeka. Menutup aurat tetap wajib, melakukan shalat dilakukan di tempat gelap atau shalat sendirian.
Wanita diharuskan menutup bagian dari beberapa sisi wajahnya dan dua telapak tangannya dan lelaki diharuskan menutup sebagian dari pusarnya dan dari beberapa sisi lututnya agar kewajiban menutup aurat sempurna. Menurut pendapat yang ashah, lutut dan pusar tidak termasuk aurat, namun menurut pendapat yang dhaif termasuk aurat.
Aurat tidak boleh kelihatan orang lain dari segala penjuru, meskipun ketika ruku’, kecuali dari bawah, sebab sulit menurup aurat dari bawah. Apabila kerah baju luas, lalu dibiarkan terlepas begitu saja sampai aurat terlihat, maka shalat tidak sah, sebab tidak sulit mengusahakan agar aurat tidak terlihat. Apabila seseorang shalat di atas atau sujud misalnya, maka tidak masalah jika auratnya terlihat dari ujung pakaiannya.
Baca Juga: Waktu Shalat, Terjemah Sulam Munajat
Penutup aurat harus merupakan benda yang menutupi warna kulit di tempat bercakap-cakap, meskipun masih memperlihatkan bentuk badan. Gelap yang menutupi warna kulit tidak sah, sebab bukan merupakan benda.
Penutup aurat juga harus meliputi benda yang ditutupi, meskipun berupa tanah padahal ada pakaian, baik dipakai oleh orang yang shalat atau tidak. Karena itu, tidak sah kegelapan menjadi penutup aurat, sebab tidak merupakan benda dan tidak meliputi orang yang shalat.
Demikian juga benda yang sempit, sebab tidak disebut penutup dan tidak dianggap meliputi benda yang ditutupi. Demikian juga baju kurung yang kerahnya dan kancingnya diletakkan pada kepala bagian atas, sebab tidak dianggap penutup, meskipun meliputi benda yang ditutupi.
Lain halnya bejana dan galian apabila lubangnya sempit, sehingga tidak terlihat aurat. Kedua benda ini cukup menjadi tutup aurat. Sutera harus digunakan untuk menutup aurat ” hanya itu satu-satunya yang ada. Tidak boleh memakai pa aian yang najis ketika shalat, meskipun tidak ada lainnya, sebab menjauhi najis adalah syarat sahnya shalat dan memakainya membatalkan shalat.
Syarat kelima menghadap kiblat secara tepat bagi yang mampu. Hajar Aswad dan Syadzarwan tidak termasuk kiblat. Yang dimaksudkan kiblat bukanlah tembok Ka’bah, namun arah Ka’bah dan udaranya sampai ke tujuh langit dan tujuh bumi.
Yang diwajibkan menghadap ke arah Ka’bah secara adat, bukan hakekat. Menghadap kiblat harus dilakukan dengan dada, bukan dengan wajah pada saat berdiri dan dukuk dan dengan dua pundak serta mayoritas badan pada selain keduanya, yaitu ruku’ dan sujud.
Jika seseorang menyeleweng dari Ka’bah dengan dadanya, padahal dia mampu, maka shalatnya batal. Menghadap kiblat adalah syarat sah shalat bagi orang yang mampu secara mutlak, baik dekat maupun jauh. Hanya saja jika dekat harus menghadap Ka’bah dengan yakin, sedangkan jika dia jauh hanya dengan perkiraan.
Jika dia shalat menghadap Ka’bah dengan duduk dan menghadap selain Ka’bah dengan berdiri, maka dia harus menghadap kiblat sebab lebih penting, sebab menghadap kiblat tetap wajib, kecuali karena ada alasan, misalnya bepergian.
Lain halnya berdiri. Ka’bah disebut kiblat sebab orang shalat dan Ka’bah saling berhadapan. Ka’bah disebut Ka’bah sebab berbentuk segi empat. Jauhnya sudut-sudut Ka’bah tidak masalah, sebab tetap dikategorikan persegi empat.
Terkecuali jika apabila seseorang dalam keadaan sangat takut, yakni dalam peperangan yang mubah atau lainnya, misalnya lari dari banjir atau kebakaran atau binatang buas atau pengancam. Dia tidak harus menghadap kiblat jika tidak mampu dan dia boleh shalat semampunya, meskipun berjalan. Lain halnya menurut Imam Abu Hanifah.
Shalat fardlu dan shalat sunat yang dikhawatirkan gadla sama dalam hal tersebut, kecuali shalat istisga’. Shalat tersebut tidak wajib diulangi sebab ada udzur. Apabila takut terjadi dalam shalat, maka tidak ada bedajika takut terjadi pada awal atau akhir waktu dengan ijma’.
Jika takut terjadi sebelum shalat, maka takut masih harus pada akhir waktu, yakni waktu yang ada hanya cukup untuk shalat atau mengira takut itu terus menerus. Pendapat lain, tidak ada beda antara awal dan akhir waktu pada hal ini.
Ketahuilah, bahwa penduduk Banten yang shalat harus berpaling dari garis Katulistiwa ke kanan yakni ke utara, sebab Ka’bah berada di sebelah utara orang yang menghadap ke timur kira-kira dua puluh enam derajat.
Dengan demikian, orang Banten menghadap kiblat, sebab posisi Banten di garis lintang selatan kira-kira enam derajat dan posisi Makah di garis lintang utara kira-kira dua puluh satu derajat. Sedangkan posisi Makah dari Jazair Al Khalidat adalah tuju puluh tuju derajat bujur barat dan posisi Banten adalah seratus empat puluh satu derajat.
Dengan demikian, antara kedua posisi tersebut terpaut enam puluh empat derajat. Maka orang Banten menghadap Rukun Yamani di mana terdapat Hajat Aswad.
Ketahuilah, bahwa antara utara dan dabur ada sembilan puluh derajat. Demikian juga antara dabur dan selatan, antara selatan dan shaba, antara shaba dan utara. Ambillah setengah dari antara utara dan dabur, maka hasilnya empat puluh derajat.
Dari arah dabur ke arah selamat diambil dua puluh enam derajat. Maka hasilnya adalah kiblat penduduk pulau Jawa.
Syarat shalat keenam adalah pelaku shalat muslim. Karena itu, tidak sah shalatnya orang kafir. Shalat wajib bagi orang muslim dan orang murtad, tidak bagi kafir dzimmi asli (bukan murtad). Kafir asli tidak wajib shalat dengan arti tidak dituntut melakukannya di dunia ini, meskipun dia dihukum di akhirat karena tidak shalat. Sedangkan kafir harbi (kafir yang memusuhi Islam) dia wajib shalat.
Peringatan:
Bila orang kafir masuk Islam, maka dia diberi pahala atas perbuatan baiknya saat dia kafir yang tidak membutuhkan niat, misalnya sedekah, silaturahim dan memerdekakan budak, sebagaimana dikutip Al Wana-i dari Al Majmu’.
Syarat shalat ketujuh adalah pelaku shalat berakal sehat. Karena itu, orang gila dan anak kecil yang belum tamyiz tidak wajib shalat dan tidak sah shalatnya, sebab keduanya tidak termasuk ahli ibadah. Di samping itu, shalat membutuhkan niat dan syarat niat adalah Islam dan tamyiz. Tanda tamyiz pada anak kecil adalah dia bisa makan sendiri, minum sendiri dan cebok sendiri.
Syarat shalat kedelapan berlaku bagi wanita, yaitu dia bersih dari haid dan nifas. Wanita yang haid dan wanita yang nifas tidak sah shalatnya dan keduanya tidak wajib gadla setelah darahnya berhenti, meskipun haid dan nifas terjadi saat dia murtad.
Lain halnya bila dia murtad saat gila, di mana dia harus menggadla shalat, sebab tidak wajibnya gadla bagi orang gila termasuk keringanan, sedangkan orang murtad tidak berhak menerima keringanan.
Apabila waktu shalat masuk, sedangkan wanita suci dari haid dan nifas serta normal akalnya, lalu dia haid atau nifas atau gila atau pingsan atau mabuk tanpa sengaja dan telah lewat waktu yang cukup untuk melakukan kewajiban shalat tersebut secepatnya, di samping ada waktu untuk melakukan bersuci yang tidak bisa dilakukan sebelum waktu shalat, misalnya tayamum dan bersucinya orang yang beser (kencing terus menerus), maka dia harus menggadla shalat tersebut.
Sebagaimana apabila orang kafir masuk Islam pada permulaan Ashar, kemudian dia gila setelah lewat waktu yang cukup melakukan hal di atas. Jika tidak demikian, maka tidak wajib menggadla shalat tersebut sebab tidak bisa melakukannya, sebagaimana apabila nisab zakat rusak sebelum ada kesempatan untuk mengeluarkan zakat. Adapun bersuci yang bisa didahulukan sebelum waktu shalat, tidak diperhitungkan, sebab bisa dilakukan dahulu.
Bila penghalang sirna, yakni haid atau nifas berhenti dan darah tidak kembali keluar, seseorang tidak lagi anak-anak, tidak lagi kafir asli, tidak lagi gila, sadar dari pingsan dan sadar dari mabuk, lalu hal itu terjadi pada waktu yang tidak layak untuk menjamak shalat dengan shalat sebelumnya, yakni Shubuh atau Zhuhur atau Maghrib, meskipun masih ada waktu untuk mengucapkan Allahu Akbar, maka harus menggadla Shalat tersebut.
Dengan syarat penghalang itu sirna dalam waktu yang cukup untuk melakukan shalat tersebut secepatcepatnya dan cukup untuk syaratnya, yaitu suci dari hadas dan najis, Bila dia mempunyai waktu yang cukup untuk melakukan satu rakaat pada akhir Ashar misalnya, lalu penghalang kembali setelah waktu yang cukup untuk melakukan shalat Maghrib, maka yang wajib Maghrib saja.
Bila dia telah melakukan Ashar, maka menjadi shalat sunat. Dia harus gadla shalat Maghrib menurut Ar Ramli, namun Ibnu Imad dan Syaikhul Islam (Zakariya Al Anshari) dan Ibnu Hajar berbeda pendapat. Ketiganya mengatakan, bahwa shalat Ashar menjadi shalat fardlu dan Maghrib tidak wajib digadla.
Apabila hilangnya penghalang terjadi pada waktu yang layak untuk menjamak shalat dengan shalat sebelumnya, yakni penghalang hilang pada waktu Ashar atau Isya’, meskipun masih sisa waktu untuk mengucapkan Allahu Akbar, maka harus menggadla shalat tersebut dan shalat sebelumnya, yaitu shalat Zhuhur atau Maghrib, sebab kedua waktu shalat menjadi satu pada saat ada udzur, apalagi ketika daurat.
Juga disyaratkan orang tersebut tidak ada halangan dalam waktu yang cukup melakukan shalat di atas. Jika seseorang baligh, kemudian gila misalnya sebelum lewatnya waktu yang cukup untuk melakukan shalat tersebut, maka shalat tadi tidak wajib, meskipun sifat gila segera hilang karena dia tidak mungkin melakukannya.
Yang wajib hanya shalat yang hadir dan shalat sebelumnya tidak wajib, apabila sudah lewat waktu yang cukup untuk melakukan shalat yang hadir sebelum datang penghalang sebagaimana tersebut. Itulah sebabnya, di sini ulama mensyaratkan waktu untuk takbiratul ihram dan dalam masalah sebelumnya mereka mensyaratkan waktu untuk shalat fardlu.
Syarat shalat kesembilan adalah meyakini bahwa shalat fardlu yang dilakukannya adalah fardlu yang pelakunya diberi pahala dan yang meninggalkannya disiksa. Bila seseorang meyakini bahwa shalat fardlu adalah sunat atau hatinya tidak meyakini apa-apa atau dia bimbang mengenai kefardluannya, maka shalatnya tidak sah, meskipun dia awam, yaitu orang yang tidak mengkaji ilmu agama, walau berada di antara ulama, sebab syarat ini merupakan syarat sahnya ibadah bagi orang awam dan orang yang tidak awam.
Syarat kesepuluh adalah tidak meyakini rukun shalat yang jumlahnya sembilan belas sebagai sunat. Bila seseorang meyakini bahwa rukun shalat adalah fardlu atau hatinya kosong dari fardlu dan sunat atau dia bimbang mengenai kefardluan rukun shalat atau dia meyakini sunat shalat sebagai fardlu, maka shalatnya sah.
Lain halnya menurut pendapat Imam Haramain pada masalah terakhir (meyakini sunat shalat sebagai fardlu). Demikian juga sah shalatnya jika dia berkeyakinan, bahwa sebagian perbuatan dalam shalat adalah fardlu dan sebagian yang lain sunat, selama tidak meyakini fardlu khusus sebagai sunat.
Lain halnya jika dia meyakini bahwa seluruh perbuatan dalam shalat adalah sunat, maka shalatnya tidak sah secara mutlak dengan ijma’ ulama. Ibnu Hajar berkata: “Apabila seseorang menganggap rukun shalat sebagai syarat shalat atau sebaliknya, maka tidak masalah, meskipun dia bukan orang awam, sebab keduanya sama-sama wajib dilakukan.
Di samping itu, niat dalam shalat didasari atas keyakinan dan karena itu orang tersebut paling-paling melakukan sunat dengan meyakininya sebagai fardlu.” Jika dia tahu bahwa shalat merupakan perbuatan dan ucapan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam secara gelobal, maka shalatnya sah. Jika demikian, dalam niat dia harus istihdhar urfi, sebagaimana dikatakan Al Wana-i. (Istihdhar urfi adalah saat niat membayangkan orang yang sedang shalat).
Syarat kesebelas adalah menjauhi hal-hal yang membatalkan shalat sebagaimana akan dijelaskan dalam seluruh shalat.
Bila seseorang tidak tahu hal-hal yang membatalkan shalat kecuali setelah selesai shalat, maka dia harus mengulanginya. Namun apabila dia mati sebelum tahu hal-hal tersebut, maka kita berharap bahwa Allah tidak menghukumnya di akhirat, sebab Allah telah berjanji menghapus kesalahan dan kealpaan dari umat ini.
Syarat keduabelas adalah tahu cara shalat, yakni tahu halhal yang dilakukan di dalam shalat, baik ucapan maupun perbuatan serta urutannya sebagaimana akan disebutkan.
Demikian Menutup Aurat, Terjemah Sulam Munajat, semoga dapat dipahami dengan mudah, dan dapat mempermdah dalam memahami isi kitab Sulam Munajat.
Adapun pembahsan berikutnya yaitu bab Rukun Shalat.
Tetap ikuti Situs San3kalongbm.com untuk mendapatkan update informasi seputar Religi dan terjemah kitab-kitab pesantren salaf. Wallahu A'lam bisowab.....
Terimakasih, Wassalam .....San3kalongbm
Post a Comment for "Menutup Aurat Syarat Shalat Yang Keempat, Terjemah Sulam Munajat"