Makna Dua Kalimat Syahadat, Terjemah Kitab Sulam Munajat
San3kalongbm.com - Makna Dua Kalimat Syahadat, Terjemah Kitab Sulam Munajat - Kewajiban pertama kali bagi setiap muslim yaitu orang yang telah akil baligh agar Islamnya sah adalah meyakini makna dua kalimat syahadat dan menanamkan maknanya dalam hati, sehingga hatinya tidak bimbang maupun lupa. Ulama menyatakan, bahwa mengerti makna kedua kalimat syahadat itu wajib. Jika tidak mengerti, maka orang yang bersangkutan tidak selamat dari kekal di dalam neraka.
Makna ” برهان يقينا “ adalah aku tahu dengan bukti secara yakin, meyakini dengan hatiku dengan pasti tanpa keraguan dan mengakui dengan lidah sehingga orang lain mendengar pengakuan itu, bahwa tidak ada yang disembah dengan benar di dunia ini, kecuali Allah.
Maka hanya Allah-lah yang menciptakan dan membuat benda, jejak maupun sifat. Segala sesuatu yang ada adalah ciptaan Allah. Jadi segala sifat hamba dan perbuatannya yang ikhtiar adalah terjadi karena kuasa Allah dan kuasa hamba sama sekali tidak ada pengaruhnya pada semua hal di atas.
Hanya Allahlah yang mengatur semua urusan tanpa pembantu maupun rival. Maka tidak ada yang terjadi pada alam atas maupun alam bawah, kecuali dengan pengaturan Allah, kehendak-Nya dan hikmah-Nya. Allah tahu kesudahan segala perkara tanpa berfikir.
Barangsiapa tahu bahwa Allah saja yang menciptakan dan mengatur, maka dia tidak berfikir untuk mengatur dirinya sendiri dan dia menyerahkan diri kepada Penciptanya, sebagaimana difirmankan Allah:
“Dan Tuhanmu menciptakan dan memilih apa yang Dia kehendaki.” (OS. Al Qashash: 68)
Kata “.ماكَانَ ” memustahilkan segala sekutu dan persamaan yang mustahil bagi Allah, sedangkan kata “ ٱلْØ®ِÙŠَرَØ©ُ “adalah menetapkan ketuhanan bagi Allah dan sifat-sifat sempurna bagi-Nya.
Dikisahkan, bahwa ada seorang ulama ditawan oleh bangsa Romawi, lalu dia berkata kepada mereka: “Kenapa kalian menyembah Isa?” Mereka berkata “Karena Isa tidak punya ayah.” Ulama itu berkata: “Adam lebih berhak kalian sembah, sebab Adam tidak punya ayah maupun ibu.” Mereka berkata: “Isa menghidupkan orang mati.
Ulama berkata: “Hizgil lebih berhak kalian sembah, sebab Isa menghidupkan empat orang dan Hizqil menghidupkan delapan ribu orang.” Mereka berkata: “Isa menyembuhkan orang buta dan orang lepra.” Ulama berkata: “Jirjis lebih berhak kalian sembah, sebab Jirjis dimasak dan dibakar, kemudian dia keluar dari periuk dalam keadaan selamat.”
Penjelasan:
Tidak sah mengganti kata dari dua kalimat syahadat dengan kata lain, meskipun searti. Maksudnya orang kafir dianggap sah Islamnya jika mengucapkan kata ” اشهد ” atau terjemahnya dari bahasa non Arab. Sebagian ulama menyatakan bahwa hal tersebut ijma’.
Jika orang kafir mengganti “ اشهد ” dengan “ أعلم ” (aku tahu), maka dia belum masuk Islam, sebab yang termaktub dalam nash syariat adalah kata “ اشهد ” (aku bersaksi). Kata ” اشهد ” tidak cukup, sebab bersaksi lebih khusus lebih daripada tahu, karena bersaksi adalah perbuatan yang timbul dari tahu yang timbul dari menyaksikan dengan mata kepala atau mata hati.
Dengan demikian, maka setiap kesaksian adalah pengetahuan dan tidak sebaliknya. Demikian dikatakan As Suhamini.
Guru kami, Yusuf As Sanbalawini berkata: “Jika orang kafir menerjemahkan kata ” أعلم ” yaitu aku tahu, maka tidak cukup.” Yakni dia belum masuk Islam. Hal tersebut juga berlaku dalam bersaksi, sebab “bersaksi” sifatnya ta’abudi (tidak berteori). Di samping itu, kesaksian lebih khusus, sebagaimana diriwayatkan dalam hadits:
“Jika engkau tahu bagaikan matahari, maka bersaksilah!”
Ketahuilah, bahwa iman hanyalah percaya, sedangkan mengucapkan adalah syarat berlakunya hukum-hukum Islam di dunia ini, di antaranya saling mewaris, pernikahan, dishalati, dituntut mengeluarkan zakat dan hukum lainnya. Ini pendapat mayoritas ulama tahqiq.
Sebagian ulama berpendapat, bahwa mengucapkan dua kalimat syahadat adalah syarat sahnya iman. Dan ada pendapat, bahwa iman adalah percaya dan mengucapkan syahadat. Ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah dan beberapa orang pengikut Al Asy’ari, seperti Hakim Abu Bakar Al Baqilani dan pendapat ini dipilih oleh As Sarakhsi.
Pendapat lain, iman adalah mengucapkan syahadat, percaya dan menunaikan perintah-perintah Allah. Ini merupakan pendapat ulama hadits, sekte Mu’tazilah dan sekte Khawarij. Sasaran perselisihan pendapat di atas adalah kafir asli (bukan murtad) yang ingin masuk Islam dan mampu mengucapkan syahadat.
Adapun anak kaum muslimin, mereka adalah mukmin dengan kesepakatan mereka. Sedangkan orang yang tidak mampu mengucap-kan syahadat, dia tidak diharuskan mengucapkan syahadat. Menurut seluruh pendapat di atas, iman adalah makhluk, sebab merupakan perbuatan hamba.
Allah tidak membutuhkan selain Dia, sebab Dia pasti bersifat mendengar, melihat dan berfirman. Seandainya Dia bersifat sebaliknya, maka Dia membutuhkan seseorang yang menyempurnakan-Nya.
Dan bahwa selain Allah membutuhkan Allah, sebab Allah pasti bersifat Esa dan alam ini makhluk. Seandainya Allah tidak Esa, maka tuhan lebih dari satu dan makhluk merasa cukup dengan masing-masing dari kedua tuhan.
Maka mereka tidak membutuhkan Allah dan hal tersebut adalah salah. Seandainya alam bukan makhluk, maka alam adalah gadim (tidak memiliki permulaan). Seandainya alam gadim, maka alam pasti ada. Seandainya alam pasti ada, maka alam berdiri sendiri dan tidak membutuhkan Allah, sedangkan hal tersebut salah.
Ketahuilah, bahwa dua puluh akidah (sifat) mendatang terbagi menjadi tiga macam. Akidah pertama diambil dari istighna’ (Allah tidak membutuhkan makhluk), yaitu sifat Allah yang tidak membutuhkan perbuatan, misalnya sifat sama’ (mendengar), bashar (melihat) dan kalam (berfirman).
Akidah kedua diambil dari iftiqar (butuhnya makhluk terhadap Allah), yaitu sifat wahdaniyat (Esa). Akidah ketiga dapat diambil dari istighna’ dan dari iftiqar, yaitu sifat-sifat Allah lainnya. Sifat-sifat Allah yang diambil dari istighna’ dapat diambil dari iftiqar, kecuali sifat sama’, bashar dan kalam dan sifat-sifat yang terkait dengan ketiganya.
Dan sifat-sifat yang diambil dari iftiqar dapat diambil dari istighna’, kecuali wahdaniyat. Namun jika pengambilannya dari istighna’ lebih jelas, maka dikategorikan kepada istighna’.
Dan bahwa Allah bersifat dengan seluruh kesempurnaan yang jumlahnya tidak terbatas secara hakekat, baik kesempurnaan itu bersifat ada maupun bersifat tidak ada, sebagaimana dikatakan As Suhaimi. Kita harus mengetahui sifat yang dijelaskan dalilnya oleh Allah kepada kita secara rinci, baik dalil aqli (rasional) maupun naqli (dalil nash), di samping kita meyakini secara gelobal, bahwa Allah memiliki kesempurnaan yang tidak terhingga.
Termasuk sifat yang wajib diketahui secara rinci adalah:
Satu sifat nafsiyah, yaitu wujud (ada).
Lima sifat salabiyah, yaitu qidam (dahulu), baqa’ (kekal), mukhalafah lil hawadits (berbeda dengan makhluk) dan qiyam binafsih (berdiri sendiri).
Tujuh sifat ma’ani, yaitu qudrah (kuasa), iradah (berkehendak), ilmu (mengetahui), hayat (hidup), sama’ (mendengar), bashar (melihat) dan kalam (berfirman).
Tujuh sifat ma’nawiyah, yaitu qadiran (yang kuasa), muridan (yang berkehendak), aliman (yang mengetahui), sami’an (yang mendengar), bashiran (yang melihat), mutakalliman (yang berfirman) dan hayyan (yang hidup).
Dan bahwa Allah suci dari segala kekurangan. Kekurangan bagi Allah mustahil, sebab sesuatu yang kurang itu membutuhkan seseorang yang menyempurnakannya dengan menjauhkan kekurangan darinya.
Dikisahkan, bahwa Asiyah suatu saat berkata kepada Fir’aun: “Saya ingin bermain denganmu dan siapa yang kalah, dia harus keluar dengan telanjang ke pintu istana.” Fir’aun setuju, kemudian Asiyah mengalah-kan raja kejam itu dan
Asiyah berkata: “Penuhilah janjimu dan keluarlah dengan telanjang.”
Fir’aun berkata: “Maafkan aku dan kamu aku beri lemari dari mutiara.”
Asiyah berkata: “Jika kamu tuhan, penuhilah janjimu, sebab memenuhi janji termasuk syarat tuhan.” Maka Fir’aun melepaskan pakaiannya dan keluar ke pintu istana dengan telanjang.
Ketika para pelayan perempuan melihat Fir’aun, mereka kafir kepada raja itu dan beriman kepada Allah. Sebelumnya Asiyah telah berdakwah kepada mereka agar beriman kepada Allah, namun mereka menolak.
Dan bahwa Allah suci dari segala hal yang terbersit dalam hati. Apapun yang ada dalam khayalanmu, Allah bukanlah benda itu, baik benda itu terlihat dari alam atas dan alam bawah, baik benda itu pernah kita dengar, misalnya Arasy, surga, sungai surga, pepohonan surga, baik benda itu hanya khayalan saja seperti bendera dari yakut dan laut dari air raksa.
Semua benda tersebut baru atau tidak ada, sedangkan Allah tidak demikian. Jika setan berkata kepadamu: “Jika Allah tidak di tempat anu dan di arah anu, lalu di mana Dia? Jika Allah tidak berbentuk demikian dan tidak bersifat demikian, lalu bagaimana Dia?” Jawablah, bahwa yang mengenal Allah hanya Allah sendiri.
Hendaknya orang yang normal akalnya tahu, bahwa segala sesuatu yang dibersitkan oleh setan dalam akalnya, itu termasuk alam, sedangkan Allah tidak termasuk alam.
Hal itu bukan berarti Allah tidak ada, sebab kita tidak mampu tahu hakekat dzat Allah dan sifat-Nya, sebab sudah ada bukti bahwa Allah itu ada, yaitu tindakan Allah pada makhluk ini sebagaimana Dia kehendaki, yaitu membuat maupun meniadakan, menghidupkan maupun mematikan, melapangkan dan menyempitkan rezeki.
Allah tidak membebani kita untuk mengetahui hakekat dzat-Nya dan sifatNya, sebab kita tidak akan mampu. Yang tahu hakekat dzat Allah dan sifat-Nya hanyalah Allah sendiri.
Ash Shiddiq berkata: “Tidak mampu tahu adalah tahu.” Maksudnya orang yang ilmunya lengkap mengenai apa yang wajib (pasti) bagi Allah, yang mustahil dan yang mungkin bagi Allah, lalu dia tahu bahwa hakekat dzat Allah terhalang dan bahwa akal pikiran tidak mampu untuk tahu hakekat dzat-Nya, dialah orang yang makrifat. Seorang ulama berkata dengan bahar thawil:
Ingat, tahu hakekat Allah adalah mustahil Tahu ketidak mampuan adalah kebenaran Sebagaimana dikatakan Ash Shiddiq pertama Dengan fikiran yang benar dan bersih Yang lain berkata dengan bahar basith:
Yang tahu Allah hanya Allah semata Agama ada dua: iman dan syirik Akal ada batas yang tidak bisa dilaluinya Tidak mampu untuk tahu adalah tahu Allah tidak mempunyai istri maupun anak, maka tidak seorangpun berjasa kepada-Nya dan Isa as bukanlah anak Allah.
Allah menciptakan Isa as. tanpa ayah. Allah pasti ada dan Dia tidak membutuhkan orang lain dan Dia sempurna dengan dzatNya. Allah tidak menyerupai apapun dalam dzat, sifat maupun perbuatan-Nya. Seorang ulama ditanya tentang Allah, lalu menjawab: “Jika yang kamu tanyakan adalah nama-nama Allah, maka firman Allah:
“Dan Allah memiliki asma’ul husna.” (OS. Al A’raf: 180) Jika yang kamu tanyakan sifat-sifat-Nya, maka firman Allah:
“Katakanlah (Muhammad), “Dialah Allah, Yang Maha Esa. Allah tempat meminta segala sesuatu. (Allah) tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan tidak ada sesuatu yang setara dengan Dia.” (OS. Al Ikhlas: 1-4)
Jika yang kamu tanyakan firman-Nya, maka firman Allah:
“Sesungguhnya firman Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami hanya mengatakan kepadanya, “Jadilah!” Maka jadilah sesuatu.” (OS. An Nahl: 40)
Jika yang kamu tanyakan sifat-Nya, maka firman Allah:
“Dialah Yang Awal, Yang Akhir, Yang Zahir dan Yang Batin: dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.” (OS. Al Hadid: 3)
Jika yang kamu tanyakan dzat-Nya, maka firman Allah:
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia. Dan Dia Yang Maha Mendengar, Maha Melihat.” (OS. Asy Syura: 11)
Diriwayatkan, bahwa Nabi saw. bersabda:
“Berfikirlah kalian mengenai makhluk dan janganlah kalian berfikir mengenai Sang Pencipta.”
Makna ” ” adalah aku tahu dengan pasti, meyakini dengan hati dan menjelaskan kepada orang lain, bahwa junjungan kita Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib bin Hasyim bin Abdi Manaf yang berasal dari suku Ouraisy adalah hamba Allah dan rasul-Nya kepada seluruh makhluk.
Karena hamba, maka Nabi Muhammad tunduk dan taat kepada Allah dan dialah utusan yang tiada tandingannya, sebab dia diutus kepada seluruh makhluk. Kulit Nabi putih bercampur kemerahan.
Dengan demikian, Nabi Muhammad diutus secara nyata kepada orang yang hidup pada masanya sampai hari kiamat di dunia. Dan secara hukum beliau diutus kepada orang yang ada sebelumnya sampai beliau lahir.
Nabi Muhammad juga diutus secara nyata di akhirat saat seluruh makhluk berada di bawah benderanya. Nabi Muhammad adalah penutup para nabi dan rasul, sebagaimana diisyaratkan oleh ‘mim’ dari kata ” ” yang makhrajnya merupakan makhraj terakhir. .
Dan bahwa Nabi Muhammad benar dalam segala hal yang dia beritahukan, meskipun hal yang bisa terjadi, misalnya Nabi bersabda:
“Aku telah makan, Fulan datang pada hari anu.”
Nabi Muhammad mustahil dusta dalam hal tersebut, sebab beliau pasti ma’shum (dijaga dari dosa). Hal yang diberitakan Nabi saw. harus kita yakini, misalnya tanda-tanda kiamat, pertanyaan di dalam kubur, nikmat kubur, siksa kubur, padang Mahsyar, menimbang amal perbuatan, telaga, syafaat, surga, neraka, pahala dan siksa.
Semua orang harus mempercayai Nabi Muhammad saw. dengan hati dalam segala hal yang beliau bawa jika diketahui tanpa berpikir, yakni orang pandai dan orang awam sama-sama mengetahuinya, baik yang ada dalilnya atau tidak.
Baik secara rinci, misalnya kitab suci yang ada empat, yaitu: Taurat, Injil, AlOur’an dan Zabur, para nabi yang disebutkan dalam Al-Qur’an yang berjumlah dua puluh lima dan empat orang malaikat, yaitu, Jibril, Mikail, Israfil dan Izrail, atau gelobal, seperti kitab suci selain empat, nabi selain dua puluh lima dan malaikat selain empat.
Mereka juga harus mengikuti Nabi Muhammad saw. dalam perbuatan dan ucapan serta keputusan, selama perbuatan itu bukan merupakan watak, misalnya berdiri, duduk dan berjalan dan bukan merupakan prioritas khusus beliau, misalnya beristri merdeka lebih dari empat orang, berdiam diri di masjid dalam keadaan junub dan boleh menghadap maupun membelakangi kiblat saat buang air. Allah berfirman:
“Katakanlah (Muhammad), “Wahai manusia! Sesungguhnya aku ini utusan Allah bagi kamu semua, Yang memiliki kerajaan langit dan bumi, tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Yang menghidupkan dan mematikan, maka berimanlah kamu kepada Allah dan RasulNya, (yaitu) Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya). Ikutilah dia, agar kamu mendapat petunjuk.” (OS. Al A’raf: 158)
Yakni ikutilah dia pada apa yang dia perintahkan dan dia larang agar kalian benar dalam mengikutinya. Umi adalah orang yang tidak bisa menulis dan kalimat-kalimat Allah adalah Al-Qur’an atau seluruh kitab suci.
Haram bagi mereka mendustakan Nabi Muhammad saw. dan melanggar perintah atau larangannya. Barangsiapa mendustakan berita yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw., dia menganiaya dirinya sendiri dan kafir, tidak beriman dan dia menjadi musuh Allah.
Adapun mukmin yang tetap bertauhid, dia tidak akan menjadi musuh Allah, meskipun melakukan seluruh dosa. Berdusta kepada Nabi Muhammad saw. hukumnya haram dan tidak membuat kafir.
Barangsiapa yang melanggar perintah atau larangan Nabi Muhammad saw., dia durhaka dan tidak taat kepada Allah serta Rasulullah dan merugi. Semoga Allah memberi kita kekuatan untuk mengikuti Nabi Muhammad saw. secara lahir batin dan membuat kita berpegangan dengan sunnahnya, menjadikan kita termasuk orang yang menghidupkan syariatnya.
Semoga di dunia ini kita dapat berziarah kepada beliau dan di akhirat memperoleh syafaat beliau. Semoga Allah mematikan kita di atas agamanya, memasukkan kita ke dalam kelompoknya, demikian juga orang tua kita, anak kita, saudara kita dan orang terkasih kita serta seluruh kaum muslimin, baik yang meninggal dunia maupun yang masih hidup. Amin (Ya Allah kabulkanlah doa kami).
Demikian Makna Dua Kalimat Syahadat, Terjemah Kitab Sulam Munajat, dengan adanya artikel tentang terjemah kitab Sulam Munajat ini semoga dapat dipahami dengan mudah.
Untuk bab selanjutnya yakni Syarat, Rukun Dan Hal-Hal Yang Membatalkan Shalat
Tetap ikuti Situs San3kalongbm.com untuk mendapatkan update informasi seputar Religi dan terjemah kitab-kitab pesantren salaf. Wallahu A'lam bisowab.....
Terimakasih, Wassalam .....San3kalongbm
Post a Comment for "Makna Dua Kalimat Syahadat, Terjemah Kitab Sulam Munajat"